Apakah Anda pernah berpikir ketika akan membangun sebuah bisnis rintisan atau dikenal dengan sebutan startup dapat terus berkembang atau tetap beroperasi hingga menjadi besar.
Satu masalah tidak muncul sebagai penyebab utama kegagalan startup, tetapi kebanyakan startup menunjuk pada beberapa alasan. Ini mungkin karena masalah tertentu menjadi gejala dari masalah lain.
Jika model bisnis Anda tidak berkelanjutan atau menguntungkan, Anda akan menghabiskan banyak uang dengan cepat.
Tanpa uang, Anda tidak bisa tumbuh. Jika Anda tidak menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan, akan sulit mendapatkan pendanaan dan seterusnya.
Dalam buku The Lean Startup karya Eric Ries, ada dua kendala yang menjadikan sebuah startup yang sering kali gagal berkembang bahkan tidak beroperasi lagi.
Kenapa startup sering kali gagal total?
Baca juga : Asal Mula The Lean Startup yang Diluncurkan oleh Eric Ries
Kendala pertama
Kendala pertama adalah pesona rencana bagus, strategi solid, dan riset pasar menyeluruh.
Pada era terdahulu ketiga komponen tersebut adalah syarat keberhasilan. Alhasil, wajar bahwa kita kerap tergoda untuk menerapkan ketiganya pada startup.
Sayangnya, ketiga prasyarat itu tidak relevan sebab startup beroperasi di tengah-tengah kondisi yang terlampau tak pasti.
Startup belum mengetahui siapa konsumennya atau produk semacam apa yang harus dijual. Seiring dengan kondisi dunia yang kian tak pasti, kian sulit pula untuk memprediksi masa depan.
Metode manajemen gaya lama sudah tidak mampu lagi menjawab tuntutan zaman.
Perencanaan dan perkiraan hanya akurat apabila berlandaskan sejarah operasional panjang yang stabil dan lingkungan yang relatif statis. Startup tidak memiliki landasaan macam ini.
Baca juga : Lima Prinsip The Lean Startup
Kendala kedua
Kendala kedua adalah, setelah menyaksikan kegagalan manajemen tradisional dalam memecahkan kendala pertama, sebagian entrepreneur dan investor lantas angkat tangan dan mengadopsi aliran : “Pokoknya Kerjakan Saja” dalam membidani startup mereka.
Aliran ini meyakini jika masalahnya terletak pada manajemen, akibatnya adalah kekacauan. Sayangnya, sebagaimana yang sudah saya alami sendiri, pendekatan ini juga tidak manjur.
Bahwa usaha rintisan yang inovatif, mendobrak kemapanan, dan tidak lumrah bisa atau harus diatur dengan praktik-praktik manajemen barangkali terkesan kontraintuitif.
Antusiasme, energi, dan visi yang disumbangkan oleh orang-orang ke dalam usaha baru ini merupakan sumber daya yang terlalu berharga untuk disia-siakan begitu saja. Kita bisa dan harus berbuat lebih dari sekedar menyumbang kebaruan belaka.
Leave a Reply